pagi,
sunyi menyusup ke balik selimut
selingkuh aku dengan bayangmu.
Jakarta, penghujung 2011
September 10, 2012
June 5, 2011
DI KOTAMU
pagi di kotamu
kiri masih sama riuhnya seperti pasaraya
roman kisut di balik birai jendela
yang kami angin-anginkan itu adalah luka
yang terlampau lama membekap derai dalam tawa
sebelum panas menjalar membakar mata
di kotamu, apa juga yang tak mendulang rindu?
bising pecah ke dalam gendang telinga
mengantar isak tertahan yang termakan asap knalpot
menunggu pesan dari rumah terselip di kotak surat
ah, sia-sia saja mencoba akrab
sebab hidup tak pernah menyisakan selingan
waktu terjepit di tengah rimbun deadline
Jakarta, Juni 2011
kiri masih sama riuhnya seperti pasaraya
roman kisut di balik birai jendela
yang kami angin-anginkan itu adalah luka
yang terlampau lama membekap derai dalam tawa
sebelum panas menjalar membakar mata
di kotamu, apa juga yang tak mendulang rindu?
bising pecah ke dalam gendang telinga
mengantar isak tertahan yang termakan asap knalpot
menunggu pesan dari rumah terselip di kotak surat
ah, sia-sia saja mencoba akrab
sebab hidup tak pernah menyisakan selingan
waktu terjepit di tengah rimbun deadline
Jakarta, Juni 2011
May 28, 2011
KIRI DI TAPAL BATAS
kiri di tapal batas
nyali ini pun ranggas
yang ribut berbisik itu adalah hantu, jembalang, peri-peri hutan
dan ahli nujum tua yang memintal nasib dari bola kaca
kiri di tapal batas
kalau masih panjang hari pastilah hari kutunggu
kalau masih berat langkah kaki ke mana boleh menuju?
Siem Reap, Mei 2011
nyali ini pun ranggas
yang ribut berbisik itu adalah hantu, jembalang, peri-peri hutan
dan ahli nujum tua yang memintal nasib dari bola kaca
kiri di tapal batas
kalau masih panjang hari pastilah hari kutunggu
kalau masih berat langkah kaki ke mana boleh menuju?
Siem Reap, Mei 2011
January 12, 2011
KEPADA MUSIM
Mengadu kita kepada musim
pada satu persimpangan gerimis dan hujan turun sore-sore
dalam basah sepatu dan lambai genit payungmu
mengutuk pilu menyumpah sinis wajah mendung
jika kutangkap bulir waktu dan kugenggam dan terus saja
kugenggam, erat, maukah kau berteduh di sini merapat?
atau seperti deru angin melibas piting-memiting
sia-sia saja menahan amukmu ke gunung lembah itu
senja jatuh tergelincir dan malam melagukan nyanyian sumbang
yang samar-samar saja terdengar sampai lekuk telingaku
seperti pengamen bungkuk yang terlampau bosan memetik gitar
menjeritkan tembang cinta kenangan usang berulang-ulang
ah, bukankah dia sudah pernah bilang
nasib terlalu rumit untuk diperbincangkan
dan kebahagiaan bukanlah ikan.
Jakarta, 12 Januari 2011
pada satu persimpangan gerimis dan hujan turun sore-sore
dalam basah sepatu dan lambai genit payungmu
mengutuk pilu menyumpah sinis wajah mendung
jika kutangkap bulir waktu dan kugenggam dan terus saja
kugenggam, erat, maukah kau berteduh di sini merapat?
atau seperti deru angin melibas piting-memiting
sia-sia saja menahan amukmu ke gunung lembah itu
senja jatuh tergelincir dan malam melagukan nyanyian sumbang
yang samar-samar saja terdengar sampai lekuk telingaku
seperti pengamen bungkuk yang terlampau bosan memetik gitar
menjeritkan tembang cinta kenangan usang berulang-ulang
ah, bukankah dia sudah pernah bilang
nasib terlalu rumit untuk diperbincangkan
dan kebahagiaan bukanlah ikan.
Jakarta, 12 Januari 2011
November 15, 2010
MENUNGGU HUJAN REDA
menunggu hujan reda
rasa pundakmu samar masih teraba
seperti siul angin atau titik-titik air melenting
ingatan melompat menghambur menghantam
niat yang maju mundur
menunggu hujan reda
kalau belum mengamuk badai buat apa kita gelisah?
kalau belum gelegar petir menyambar kilat
menghunjam mencucuk mencacah
buat apa kita berdarah?
bukankah hari terlampau singkat bagiku
bagimu untuk jadi seorang pengecut
bukankah Tuhan bersama orang-orang yang berani
bukankah sudah kusandarkan impian di pundakmu
yang terkulai ditegar-tegarkan di bangku taman itu
dulu.
Jakarta, November 2010
rasa pundakmu samar masih teraba
seperti siul angin atau titik-titik air melenting
ingatan melompat menghambur menghantam
niat yang maju mundur
menunggu hujan reda
kalau belum mengamuk badai buat apa kita gelisah?
kalau belum gelegar petir menyambar kilat
menghunjam mencucuk mencacah
buat apa kita berdarah?
bukankah hari terlampau singkat bagiku
bagimu untuk jadi seorang pengecut
bukankah Tuhan bersama orang-orang yang berani
bukankah sudah kusandarkan impian di pundakmu
yang terkulai ditegar-tegarkan di bangku taman itu
dulu.
Jakarta, November 2010
September 29, 2010
KETIKA DAHAN PATAH
kuserukan namamu saat kudengar kertak suara itu
yang menyelusup lirih menembus kabut pagi buta
di luar,
burung gereja menarikan ritual-ritual ritmis gembira
mencericip riang menyambut subuh yang luntur
di tepi jendela
jauh ke timur,
fajar baru redup menyala
menjatuhkan bayang-bayang serupa lukisan kabur
di tanah basah
dan hatiku yang gemas kau remas seperti kertas
berderak serupa dahan pohon di belakang rumah
"kraakk..."
patah jadi dua.
Jakarta, September 2010
yang menyelusup lirih menembus kabut pagi buta
di luar,
burung gereja menarikan ritual-ritual ritmis gembira
mencericip riang menyambut subuh yang luntur
di tepi jendela
jauh ke timur,
fajar baru redup menyala
menjatuhkan bayang-bayang serupa lukisan kabur
di tanah basah
dan hatiku yang gemas kau remas seperti kertas
berderak serupa dahan pohon di belakang rumah
"kraakk..."
patah jadi dua.
Jakarta, September 2010
August 1, 2010
SAJAK UNTUKMU
Semoga masih sempat kutuliskan sajak untukmu
sebelum seluruh rasa luruh menjadi abu
dan ingatan menguap bersama tetes-tetes keringat
kisah kau di jemariku
semoga sempat.
Jakarta, Januari 2010
sebelum seluruh rasa luruh menjadi abu
dan ingatan menguap bersama tetes-tetes keringat
kisah kau di jemariku
semoga sempat.
Jakarta, Januari 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)