December 21, 2006

DELIRIUM

Dan kau,

terus saja buatku gila
sebab parasmu kini menjelma
di dindingdinding tua batas kota
(aku ingat menghidu wangi lumut yang lembab)
lalu merambat, melambat,
menjalari benteng terakhir pertahananku

dan aku
tetap tak mau berhenti.

PESTA ORANG MATI

kawan, angkat cawanmu tinggi
dan mari bersulang sendiri
ini pesta orang mati
tak 'kan kau dengar alunan musik
hanya isak pengakuan dosa
dari mereka yang kemarin tertawa
lalu isi dan reguk anggurmu lagi.

December 18, 2006

RUANG HAMPA WAKTU

Inikah tempatnya? Di mana kau temukan dunia yang selama ini kau cari. Yang membuatmu mengeluh terus-menerus karena menghantui pikiranmu setiap hari. Suatu tempat yang entah apa. Bukan labirin kaca; bukan pula padang terbuka. Tempat di mana aku pernah berjanji tak akan menginjakkan kakiku lagi di sana. Tempat di mana seluruh rasa tumpah ruah. Tapi tak merdeka, tapi tak merdeka dan diriku masih saja sengsara.

Jadi, di mana kita akan membuat janji? Aku tak hendak ke sana. Sungguh. Kujual jiwa jika kulanggar sumpah. Mungkin terdengar agak mengada-ada bagi otakmu yang begitu logis. Terserah! Bagiku sama saja. Oh ya, hanya ingin kau tahu jika ternyata lupa atau tak dapat mengingatnya. Di sini, di sisiku. Tempat di mana kau dapat bersembunyi dari busuknya waktu. Ya, waktu yang masih saja tertawa lebar mengkhianatiku. Dan jika - hanya jika - detik ini bergulir untuk turut mengkhianatimu, aku ingin kau mengingat. Ada seseorang di sini, yang terpaku dalam ruang hampa waktu. Menghindar dari setiap detakan yang menggila. Melarikan diri dari tiap detik yang menyiksa. Lari dari Sang Waktu yang tak pernah adil dari dulu.

Dan jika tuturku ternyata dosa, maka biarlah kau menjadi manusia pertama yang mengutukku.

Jatinangor, Maret 2004

December 7, 2006

EKSODUS

mari beramai-ramai kita labuhkan senja
menuju satu malam dingin yang sempurna
ayo semua melompat turun dari pelana
tambatkan kuda-kuda, sarungkan pedang,
turunkan busur dan anak panah
biar bebas kita beramai-ramai di padang merdeka

yang lalu biar sudah lepas saja
tertinggal jauh di belakang di tepas benua
ingat-ingatan purba kerap memikat memerdaya
terpikau-pikau kita nanti, hilang arah
menyusur balik jejak langkah kaki
yang melintas kini hanya itu yang pasti

tak ada janji-janji yang terselip di ceruk waktu ini
hanya gamang berkumandang lebih hebat dari siang
sudah saatnya kita terlelap, sayang, lelah
bermimpi kita lelap mimpikan kita lelap
masa depan, kita tahu, hanya indah sebatas angan-angan
biar itu esok saja kita pikirkan

cukuplah kini temani aku labuhkan senja
dan mari beramai-ramai kita.

Jatinangor, Desember 2006


November 9, 2006

PECANDU PAGI

Pagi saja yang aku tunggu,
menunggu terjaga dengan satu nama
Tak jua nama
sudi tunjukkan rupa,
aku saja yang kian kalap
terlalu enggan berhenti berharap.

JANJI (1)

Ceritakan padaku
dukakah itu, yang meranai di dinding mukamu?
tak usah berkabung
biar langit saja yang murung
sebab aku bukan sedang menggali kubur

Jika getir itu yang kau rasa mengganggu
tepis saja, atau genggam sekalian
lalu telan bulat-bulat, kemudian
esok akan kubalaskan untukmu
satu dendam kesumat.

SELEPAS EKSKURSI

Hampir magrib
Dunia abu-abu;
langit jingga

Sekawanan burung
menghentak di cakrawala,
barangkali ingin terbang sembunyi
hingga kelam sedikit reda

Rumput bisu;
dedaunan bisu. Begitu pula
pepohonan dan jalanan itu
Detik membatu

Sunyi ini bising, kawan,
teramat mengganggu
Bertalu-talu menggedor telingaku,
lalu menyusup bagai hantu

Lalu lintas memaksa kita
kian bergegas. Aku mau lari,
tapi tak pula sampai hati, sebab
kau belum juga terjaga dari kematian

Izinkan aku menunggu hingga
kau retas gundah itu, hingga kau siap
Hingga aku tak lagi mendengarmu
menggugat dalam senyap

Dingin mulai hinggap, namun
kita masih bisa bersedekap.

MANTRA

"jadi, apa lagi yang kita tunggu?" tanyamu waktu itu. Aku
bergeming, tak beranjak sedikit pun menatapmu. Pikirmu
aku tuli (telah kau ulang kalimat itu sepuluh kali). Aku tahu,
sang waktu tak akan mati suri sementara kita berdiam
diri. Tapi apa pula gunanya berkata-kata, jika hening mampu
ungkap banyak makna.

Dan kau kian gelisah.

Lalu, gumam apakah itu, yang masih juga tersekap dalam
liang mulutmu (seakan hendak mengajakku bercakap):
doa, puisi, atau sekadar janji tak pasti? Tak perlu
kau rapal mantra, percuma. Karena keajaiban tak pernah
bertahan lama.

Keretaku telah lama lewat, yang tersisa kini hanya seberkas
sinar yang lindap. Lalu lingkap.

AKU

Aku adalah kepala yang dibongkarpasang. Dicopot, disusun ulang. Adalah Merkuri; adalah kumpulan hasrat tak henti. Adalah Hircocervi yang merasuki mimpimimpi dalam alunan melodi. Aku adalah apa saja: segala hal yang tak kau akrabi wujudnya.

Dan bilakah kita berjumpa, tak perlu bertegur sapa. Rasanya kini basabasi sudah menjadi terlalu purba: hanya pantas kau pajang dalam kotak kaca. Mungkin juga katakata memang telah sejak lama kehilangan makna.

DAN MUSIM TIDAK DATANG TIBA-TIBA

Dan musim tidak datang dengan tiba-tiba

Menggayut ia, menunggu di lubang waktu
hingga hujan yang mampir semalam
terusir oleh subuh, atau senja
memupus bayang yang jatuh
di pundak-pundak letih kita

Dan musim tidak datang dengan tiba-tiba

Kita saja yang sedikit lengah
duduk termangu di ladang-ladang ini
(Bukankah kita sudah berjanji tak akan
menghitung tahun yang lama lewat?)

Denting logam pun kian samar
sepi juga yang menyambar
Kau, aku, tahu: kita sama-sama tersesat
di labirin putih ingatan, dan
Apakah lagi yang kini kau hisap:
udara, asap cerutu, atau selinting candu

Atau entah,
musim tidak datang dengan tiba-tiba
Tapi ia kerap lalu dan lupa singgah.

BIAR HENING (2)

Biar hening selimuti kita, Ibunda. Tak perlu bercakap, tak perlu berkata-kata. Biar hening saja yang bicara. Sebab bahasa akan menjadi sia-sia. Kau, aku, sama-sama tak mengerti: bagaimana cara saling memahami. Ataukah kita memang lebih suka saling menyimpan rahasia?

Biar hening selimuti kita, Ibunda. Sebab bising yang asing melukai gendang telinga. Sebab lafal aksara menjelma racun di pembuluh darah kita. Kau, aku, sama-sama tahu: kisah kita tak mungkin sempurna. Barangkali kita memang terlahir untuk saling berdusta.

Ah, rindu ini getir sangat. Kututup rapat-rapat pintu harap, biar lupa. Biar isak tak lagi membahana (masih pantaskah kita berlutut, bersujud, memaksa langit turunkan mukjizat?). Sepi sampai anyir tak juga sudi menyingkir. Aku mau mangkir, tapi gema suaramu kerap datang menyindir.

Dan aku kian terusir.

Maka biarkan hening menyelimuti kita, Ibunda. Biar hening. Aku kini terlampau lelah.

BIAR HENING (1)

Biar hening selimuti kita
menangkap basah sisa hari
yang kuyu
dari sinar abu kelabu matamu

Biar hening selimuti kita
jaga jiwa yang repas
mengelupas tuntas hingga
tetes keringat
Tamatkan tidur--
waktu berjalan mundur
dan mimpi
yang masih juga kusut
: susut, kisut
sikut-menyikut

Biar hening.

October 28, 2006

TENTANG NAMA-NAMA

seperti amnesia
orang-orang ini pun lupa
sejarah tentang kita,
tentang nama-nama,

dan gerimis

pada satu senja yang terlalu
cepat selesai.