November 9, 2006

PECANDU PAGI

Pagi saja yang aku tunggu,
menunggu terjaga dengan satu nama
Tak jua nama
sudi tunjukkan rupa,
aku saja yang kian kalap
terlalu enggan berhenti berharap.

JANJI (1)

Ceritakan padaku
dukakah itu, yang meranai di dinding mukamu?
tak usah berkabung
biar langit saja yang murung
sebab aku bukan sedang menggali kubur

Jika getir itu yang kau rasa mengganggu
tepis saja, atau genggam sekalian
lalu telan bulat-bulat, kemudian
esok akan kubalaskan untukmu
satu dendam kesumat.

SELEPAS EKSKURSI

Hampir magrib
Dunia abu-abu;
langit jingga

Sekawanan burung
menghentak di cakrawala,
barangkali ingin terbang sembunyi
hingga kelam sedikit reda

Rumput bisu;
dedaunan bisu. Begitu pula
pepohonan dan jalanan itu
Detik membatu

Sunyi ini bising, kawan,
teramat mengganggu
Bertalu-talu menggedor telingaku,
lalu menyusup bagai hantu

Lalu lintas memaksa kita
kian bergegas. Aku mau lari,
tapi tak pula sampai hati, sebab
kau belum juga terjaga dari kematian

Izinkan aku menunggu hingga
kau retas gundah itu, hingga kau siap
Hingga aku tak lagi mendengarmu
menggugat dalam senyap

Dingin mulai hinggap, namun
kita masih bisa bersedekap.

MANTRA

"jadi, apa lagi yang kita tunggu?" tanyamu waktu itu. Aku
bergeming, tak beranjak sedikit pun menatapmu. Pikirmu
aku tuli (telah kau ulang kalimat itu sepuluh kali). Aku tahu,
sang waktu tak akan mati suri sementara kita berdiam
diri. Tapi apa pula gunanya berkata-kata, jika hening mampu
ungkap banyak makna.

Dan kau kian gelisah.

Lalu, gumam apakah itu, yang masih juga tersekap dalam
liang mulutmu (seakan hendak mengajakku bercakap):
doa, puisi, atau sekadar janji tak pasti? Tak perlu
kau rapal mantra, percuma. Karena keajaiban tak pernah
bertahan lama.

Keretaku telah lama lewat, yang tersisa kini hanya seberkas
sinar yang lindap. Lalu lingkap.

AKU

Aku adalah kepala yang dibongkarpasang. Dicopot, disusun ulang. Adalah Merkuri; adalah kumpulan hasrat tak henti. Adalah Hircocervi yang merasuki mimpimimpi dalam alunan melodi. Aku adalah apa saja: segala hal yang tak kau akrabi wujudnya.

Dan bilakah kita berjumpa, tak perlu bertegur sapa. Rasanya kini basabasi sudah menjadi terlalu purba: hanya pantas kau pajang dalam kotak kaca. Mungkin juga katakata memang telah sejak lama kehilangan makna.

DAN MUSIM TIDAK DATANG TIBA-TIBA

Dan musim tidak datang dengan tiba-tiba

Menggayut ia, menunggu di lubang waktu
hingga hujan yang mampir semalam
terusir oleh subuh, atau senja
memupus bayang yang jatuh
di pundak-pundak letih kita

Dan musim tidak datang dengan tiba-tiba

Kita saja yang sedikit lengah
duduk termangu di ladang-ladang ini
(Bukankah kita sudah berjanji tak akan
menghitung tahun yang lama lewat?)

Denting logam pun kian samar
sepi juga yang menyambar
Kau, aku, tahu: kita sama-sama tersesat
di labirin putih ingatan, dan
Apakah lagi yang kini kau hisap:
udara, asap cerutu, atau selinting candu

Atau entah,
musim tidak datang dengan tiba-tiba
Tapi ia kerap lalu dan lupa singgah.

BIAR HENING (2)

Biar hening selimuti kita, Ibunda. Tak perlu bercakap, tak perlu berkata-kata. Biar hening saja yang bicara. Sebab bahasa akan menjadi sia-sia. Kau, aku, sama-sama tak mengerti: bagaimana cara saling memahami. Ataukah kita memang lebih suka saling menyimpan rahasia?

Biar hening selimuti kita, Ibunda. Sebab bising yang asing melukai gendang telinga. Sebab lafal aksara menjelma racun di pembuluh darah kita. Kau, aku, sama-sama tahu: kisah kita tak mungkin sempurna. Barangkali kita memang terlahir untuk saling berdusta.

Ah, rindu ini getir sangat. Kututup rapat-rapat pintu harap, biar lupa. Biar isak tak lagi membahana (masih pantaskah kita berlutut, bersujud, memaksa langit turunkan mukjizat?). Sepi sampai anyir tak juga sudi menyingkir. Aku mau mangkir, tapi gema suaramu kerap datang menyindir.

Dan aku kian terusir.

Maka biarkan hening menyelimuti kita, Ibunda. Biar hening. Aku kini terlampau lelah.

BIAR HENING (1)

Biar hening selimuti kita
menangkap basah sisa hari
yang kuyu
dari sinar abu kelabu matamu

Biar hening selimuti kita
jaga jiwa yang repas
mengelupas tuntas hingga
tetes keringat
Tamatkan tidur--
waktu berjalan mundur
dan mimpi
yang masih juga kusut
: susut, kisut
sikut-menyikut

Biar hening.